Kamis, 30 November 2017

Kecenderungan Budaya Konsumerisme Generasi Milenial Indonesia

      Indonesia memiliki peranan penting dalam roda perekonomian dunia. Setidaknya CPXi, perusahaan yang bergerak di bidang iklan industri digital, mengungkapkan bahwa Indonesia adalah pasar terbaik untuk dunia digital. Pasar digital di Indonesia memang tumbuh signifikan. Tren positif akan terus terjadi mengingat populasi Indonesia yang begitu besar dan munculnya kesadaran masyarakat dalam mempromosikan produk mereka melalui media digital (e-commerce).
      Menurut data We Are Social (per Januari 2017), dari 262 juta penduduk Indonesia, yang terhubung dengan internet sejumlah 132,7 juta penduduk (51%) dan 106 juta penduduk aktif di media sosial. Pengguna internet Indonesia mengalami kenaikan 45 juta dibanding Januari 2016. Penduduk Indonesia menggunakan internet selama 8 jam 44 menit via PC/tablet dan 3 jam 55 menit via mobile phone. Youtube, Facebook, dan Instagram menjadi 3 besar media sosial yang banyak dipakai di Indonesia.
     Ibarat dua sisi mata pisau, potensi ini memiliki sisi baik dan buruknya. Apakah Indonesia siap menghadapinya? Atau hanya akan menjadi konsumen/end user saja. Melihat fenomena yang terjadi, banyaknya kemudahan yang serba instan memicu timbulnya gaya hidup konsumerisme bagi kalangan milenial. Konsumerisme adalah pemakaian barang/jasa secara berlebihan secara sadar dan berkelanjutan.
      Hadirnya teknologi internet yang didorong oleh perilaku konsumen yang menginginkan pemenuhan barang secara cepat, mulai menggeser konsep jual-beli dari yang konvensional (datang langsung ke toko/pasar) menjadi secara online. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya situs penyedia layanan belanja online.
    Uniknya, banyak dari para milenial yang ternyata melakukan belanja menggunakan uang yang diperoleh dari orang tua mereka. Artinya uang orang tua menjadi solusi atas permasalahan keuangan yang mereka hadapi. Ini juga akan menghambat kemandirian dan kreativitas dari kalangan milenial.
   Munculnya budaya konsumtif pada generasi milenial harus diatasi dengan adanya pengubahan pola pikir yang sebelumnya mudah untuk menghabiskan uang menjadi berpikir bagaimana menghasilkan uang menggunakan kemudahan yang ada. Media digital menjadi alternatif pilihan dalam mewujudkan hal tersebut. Tak hanya itu, mereka juga dituntut untuk mampu mengatur keuangan secara cerdas.

Ketika Merek Lebih Penting daripada Kebutuhan
     Salah satu pendorong maraknya budaya konsumtif bagi generasi milenial adalah hasrat yang tinggi untuk membeli barang yang dinilai “bermerek”. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena merek sebagai simbol menimbulkan adanya anggapan masyarakat bahwa dengan memiliki merek tersebut akan menaikkan derajat pemilik barang tersebut. Motif pembelian terhadap barang/jasa bukan lagi berdasarkan kebutuhan melainkan merek yang dimiliki.

Re, hape lu udah ganti? Dulu kan pakai iPhone. Padahal mau iPhone berapa, kalau pakenya iPhone tetep gimana gitu...”
Itu sepatu beli berapa? Ori ga?...”

      Demikianlah beberapa percakapan yang pernah penulis temui dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengindikasikan merek menjadi entitas penting generasi milenial dalam membeli barang. Bagi konsumen merek kuat dapat memberikan nilai lebih pada konsumennya (Widjaja et. al, 2007 dalam Kesumo, 2015). Bila ditinjau dari aspek sosial, merek mempengaruhi prestige konsumen itu sendiri. Anggapan ini membuat masyarakat berlomba-lomba mengejar merek suatu barang. Sejalan dengan itu, permintaan terhadap barang juga akan semakin tinggi.
     Ternyata tak sedikit dari generasi milenial yang bangga memakai produk yang dinilai “bermerek” tanpa melihat apakah produk tersebut asli atau palsu (dikenal juga dengan istilah “KW”). Hal ini dibuktikan dengan ditutupnya semua outlet resmi milik Vans di seluruh Indonesia karena terlilit hutang miliaran rupiah. Padahal Vans menjadi salah satu merek yang digandrungi oleh anak muda. Kemana hasil penjualan produk sepatu tersebut? Kalau memang sepatu yang banyak dipakai tersebut asli, mustahil mereka tutup. Jadi bisa dikatakan sebagian besar sepatu Vans yang kita temui di jalan merupakan produk palsu.
    Dari ilustrasi tersebut, terjadi anomali dalam perilaku berbelanja pada generasi milenial. Di satu sisi mereka ingin memenuhi hasrat untuk memiliki barang bermerek terkenal, di sisi lain mereka terkesan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasrat tersebut. Dampaknya mereka tidak peduli apakah produk yang mereka beli asli atau palsu. Bisa saja ini terjadi karena mahalnya harga produk sementara banyak dari mereka masih bergantung pada penghasilan orang tua.

Ketika Merek Menjadi Kata Sifat
      Merek merupakan suatu persepsi dari sekumpulan informasi dan pengalaman yang terintegrasi yang membedakan suatu perusahaan dan/atau produk yang ditawarkannya dalam suatu kompetisi (Duncan, 2002 dalam Prasetio, 2012).
   Dalam kehidupan sehari-hari merek tak hanya menjadi kata benda (untuk merepresentasikan suatu produk barang), melainkan juga kata sifat. Merek barang terkenal dipersepsikan masyarakat sebagai barang mahal sehingga hanya orang-orang kaya lah yang dapat memilikinya. Akhirnya merek suatu barang menjadi kata ganti sifat, misalnya kata “kaya”.
       Adanya anggapan seperti ini dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti “Hapenya sekarang iPhone”, “Gitu-gitu, celananya itu Louis Vuitton lho”, atau “Asal kalian tau, tasnya itu Hermes lho…”. Semua kalimat tersebut bertujuan untuk menunjukkan bahwa pemakai merupakan orang kaya.

Referensi:
Ali, Hasanuddin dan Lilik Purwandi. 2017. The Urban Middle-Class Millenials Indonesia: Financial and Online Behavior. Jakarta: PT Alvara Strategi Indonesia
Kesumo, Agung Mulyo dan Indira Rachmawati. 2015. Analisis Brand Equity IPhone di Indonesia. Bandung: e-Proceeding of Management. Vol. 2, No. 2: 1361-1368.
Prasetio, Candra. 2012. “Pengaruh Citra Merek terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi pada Apple iPhone)”. Skripsi. FISIP, Ilmu Administrasi Niaga, Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar