Di zaman sekarang, orang-orang khususnya anak muda terkesan ‘gila like’. Orang-orang rela menghabiskan waktu di depan media sosial menunggu like yang diperoleh dari orang lain. Hal ini menjadi sebuah transformasi besar yang disebut dengan “Revolusi Digital”, dimana kehadiran media online mengubah perilaku di semua aspek kehidupan.
Anak-anak zaman sekarang menghabiskan waktu pada penggunaan teknologi internet tanpa adanya kemampuan pemahaman tentang apa yang mereka gunakan. Perusahaan melihat ini sebagai sebuah peluang bisnis. Dibanding dengan zaman dulu, dimana MTV dipandang sebagai media yang terkesan ‘anak muda’ yang mampu membentuk identitas budaya bagi anak muda, sekarang kebanyakan anak muda lebih memilih menunjukkan eksistensi diri melalui media online.
Dengan menunjukkan diri mereka melalui media online, mereka menganggap itu sebagai sebuah hal yang ‘keren’. Sehingga mereka sangat mempertimbangkan tampilan profil mereka, mulai dari foto hingga sampulnya. “Your profile picture is kind of like how you want people to visualize you… and your cover photo kind of tells about your personality”, ucap Jenna. Menurut mereka foto profil menjadi aspek penting dalam menyampaikan siapa diri dan sampul foto dianggap sebagai sesuatu yang dapat merepresentasikan kepribadian seseorang.
Like, follower, friends, retweet menjadi ukuran sosial bagi generasi sekarang. Semakin banyak like yang diperoleh, semakin menambah perasaan senang bagi mereka. Tak hanya itu, produk barang atau selebritas yang disukai menjadi sebuah identitas untuk menunjukkan siapa mereka (“You are what you like”). Dan peluang ini berhasil dikonversikan oleh banyak perusahaan, perasaan suka tersebut diubah menjadi produk franchise berdaya jual tinggi. Perusahaan-perusahaan melihat fenomena ini sebagai “uang”.
Kehadiran media sosial (yang disertai indikator like tentunya) turut mengubah pola bisnis sekarang. Di samping keberhasilan mengkonversi like menjadi barang berdaya jual, perusahaan juga mengubah pola pemasaran dengan memadukan ketertarikan pengguna media sosial dengan budaya populer yang ada sehingga tak jarang mereka juga mengangkat isu-isu relevan dalam iklan produk mereka seperti pernikahan sesama jenis atau lainnya. Sehingga tak jarang mereka ikut mengampanyekan produk yang merepresentasikan isu tersebut, sebagai contoh Oreo dengan krim yang berwarna-warni untuk menunjukkan dukungan pada kaum LGBT yang memiliki lambang bendera pelangi.
Di satu sisi, kebiasaan like ini membentuk suatu data yang mendeskripsikan karakter (demografi) pengguna online. Ketika seseorang memperoleh like dari orang lain, penyedia layanan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dll. menyintesiskannya menjadi sesuatu yang dapat dijual. Tak hanya itu, perilaku online menjadi respons bersifat real-time terhadap perusahaan sehingga tidak sulit bagi mereka untuk meraih feedback dari masyarakat sebagai target pasar mereka. Tanpa disadari, satu buah like, tweet, atau klik dari pengguna media sosial menyumbang sekian dollar untuk perusahaan tersebut.
Bisnis semacam ini ternyata tidak hanya menjadi lahan bagi para perusahaan. Banyak diantara pengguna media sosial itu sendiri yang mampu meraup keuntungan dari hanya sekedar membagi tweet, status, video, jumlah view, dan lain-lain. Uang tersebut mereka dapat dari like yang diperoleh dari follower, subscriber, atau liker. Tak sedikit juga di antara mereka yang menyelipkan iklan produk-produk tertentu pada postingan media sosial. Tentu mereka dapat bayaran atas postingan tersebut dari perusahaan produk yang dimaksud.
Memang terdapat beberapa pengguna media sosial yang menyadari peluang bisnis ini lalu berubah “haluan” dari sekedar berbagi postingan menjadi pebisnis profesional yang berusaha menguangkan sesuatu melalui media sosial. Namun ada juga pengguna media sosial yang tidak menyadari peluang tersebut seperti orang-orang yang hobi akan sesuatu hal lalu ia memostingnya di media sosial dan ternyata di-like oleh banyak orang. Pada akhirnya mereka juga digaet dan disponsori oleh perusahaan yang punya kepentingan tertentu seperti menunjang penampilan orang tersebut hingga mempromosikan produk mereka.
Tak sampai disitu, kemampuan mereka akan sesuatu yang disukai oleh banyak orang melahirkan banyak penggemar dan membuat ‘sensasi internet’ dengan banyak klik, view, dan like. Untuk sementara mereka menjadi selebritas terkenal dan menjadi role model bagi pengguna media sosial sehingga ia tak hanya meraih keuntungan dari hobi, namun juga dari aktivitas sehari-hari yang menarik untuk ditonton oleh penggemarnya. Itulah mengapa kita sering melihat video yang sebenarnya tidak begitu penting bahkan terkesan konyol hanya karena ingin meraup banyak penonton.
Dari pihak profesional, kehadiran media sosial juga dimaksimalkan untuk keperluan bisnis mereka. Sebut saja artis yang menggunakan media sosial untuk menunjang popularitas mereka atau produk media (seperti film, musik, dll.) yang memanfaatkan media sosial sebagai salah satu sumber riset dan strategi penting dalam memasarkan produk mereka. Kehadiran media sosial memungkinkan interaksi yang terbuka dan transparan di antara kedua pihak.
Hadirnya media sosial turut mempermudah promosi produk mereka. Sesuatu hal bisa menjadi viral hanya dengan kepandaian merancang pesan sehingga apa yang sebenarnya tidak begitu bagus berhasil membuat orang penasaran hingga akhirnya ikut mencoba. Keuntungan lainnya adalah ‘promosi gratis’ dari penggemar (“You’re consumer is your marketer”). Maksudnya ketika penggemar membagikan postingan terkait produk tertentu secara tidak langsung mereka telah membantu perusahaan untuk mempromosikan produk mereka sehingga dapat dikatakan upaya ini dapat menekan biaya iklan promosi.
Generasi muda sekarang tidak sepenuhnya menjadi “Generasi Like” yang hanya mengandalkan media sosial sambil mengharapkan banyak like, view, komen, dan lain-lain. Di satu sisi mereka diharapkan mampu membuat ‘manipulasi’ terhadap penggunaan media sosial mereka sendiri.
Dalam konteks Indonesia, fenomena ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Jumlah like menjadi indikator popularitas seseorang. Bahkan kita menemui like menjadi sebuah ketentuan yang bersifat wajib, seperti dalam penentuan gelar terfavorit, keberhasilan promo, dan lain-lain yang didasari jumlah like terbanyak. Padahal terkadang like tersebut tidak benar-benar menunjukkan perasaan like (suka) dari orang yang memberikan.
Fenomena lain yang sering kita temui adalah maraknya vlogger dan selebgram. Vlogger menjadi salah satu acuan bahwa orang Indonesia menyadari peluang bisnis dari video blog yang kemudian mereka unggah ke Youtube. Pada tahap selanjutnya mereka memang menjadi orang yang terkesan ‘gila like’. Tak salah jika kita selalu menemui ajakan untuk menekan like, share, komen, dan subscribe di awal, tengah, maupun akhir video Youtube.
Adapun selebgram menjadi bukti nyata bahwa media sosial menawarkan popularitas yang cepat untuk para penggunanya. Dengan banyaknya pengguna lain yang mem-follow akan menambah kemungkinan kita menjadi seorang selebgram. Selanjutnya akan dapat tawaran endorse dari produk-produk tertentu. Artinya Anda dapat menjadikan follower menjadi konsumer bisnis dengan menawarkan produk bisnis. Hal ini terjadi karena perusahaan menganggap seseorang dengan follower yang banyak bisa menjadi opinion leader dan menjadi role model atau acuan bagi setidaknya orang-orang yang mem-follow.
Media sosial juga mengubah strategi pemasaran setiap perusahaan. Dulu kita hanya menerima promo produk melalui media konvensional seperti televisi atau radio. Sekarang produsen mengonvergensikan setiap media sosial yang ada untuk menjual produk mereka. Akhirnya pengguna media sosial sering menemui iklan-iklan tertentu di akun milik mereka. Strategi penjualan yang dilakukan juga disesuaikan dengan perilaku online dari pengguna itu sendiri. Setiap rekam data berupa like, share, dan komen menjadi unit penting dalam menentukan produk apa yang cocok untuk orang yang bersangkutan.
Referensi
Alliston, Michael. (2016, 1 Desember). PBS Frontline 2014. Generation Like. Diambil dari https://www.youtube.com/watch?v=ugaz-LwNPOk (diakses 5 November 2017, pukul 18.47 WIB)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar